Kompetensi Guru
Meskipun dana pendidikan pemerintah terbatas dan dukungan masyarakat
maupun dunia usaha kurang optimal, menurut Chairul, masalah pokok pendidikan di
Lampung bukan dana, sarana, dan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, tingkat
kompetensi guru yang masih rendah bahkan di bawah standar minimal.
Untuk itu, Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Lampung Dedi
Hermanto mengatakan pihaknya menggelar tes kompetensi. Tujuannya, agar bisa
memetakan tingkat kompetensi guru di Lampung. Hal itu beberapa waktu lalu
dilakukan untuk guru SD dan SMA. Sebab, guru SMP dilakukan sebelumnya.
Setelah pemetaan berakhir, diharapkan akan diketahui peta kompetensi guru
di Lampung. Sehingga, bisa diambil langkah tepat meningkatkan kompetensi
mereka, khususnya yang ada di Bandar Lampung. "Kami akan potret dulu seperti
apa kondisinya, dari hasil pemotretan inilah kemudian akan kami tentukan
langkahnya," kata Dedi.
Menurut dia, berdasarkan hasil pemetaan kompetensi terhadap 1.000 guru SD
di Lampung, banyak hal yang harus ditingkatnya.
dan wawasannya rendah, ada pula yang kemampuan evaluasinya demikian.
Namun, karena pemetaan belum menyeluruh, LPMP akan terus melakukannya
terhadap guru di semua jenjang pendidikan. Akhir tahun ini, rencannya dipetakan
15.000 guru SD. Pihaknya mengharapkan hal itu bisa terus berlangsung sehingga
semua guru di seluruh jenjang pendidikan diketahui kompetensinya.
Sementara Plh. Kadis Pendidikan Lampung Chairul Tabrani mengatakan untuk
mengatasi berbagai persoalan pendidikan di daerahnya akan berusaha
meningkatakan perluasan dan pemerataan kesempatan pendididikan, guna mendukung
wajib belajar sembilan tahun. Sebab, harus selesai 2008.
Usaha berikutnya, meningkatkan mutu tenaga pendidik melalui pelatihan dan
penyetaraan. Sedangkan untuk merehabiltasi berbagai sarana dan prasarana yang
rusak, pihaknya akan berembuk dengan pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan
kabupaten dan
Namun, seberapa mungkin upaya itu akan terwujud? Sejumlah pihak
meragukannya. Sekretaris Forum Martabat Guru
Vanollie mengatakan pemerintah kurang peduli terhadap pendidikan. Keterlamabtan
pencetakan buku rapor siswa, misalnya, menjadi kampanye yang sangat tidak
produktif bagi kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
"Jika hal yang demikian teknis saja tidak tertangani, masyarakat pantas
khawatir dengan keseriusan dan kinerja Dinas Pendidikan," kata dia kepada
Lampung Post, Kamis (9-12).
Menurut dia, untuk kesekian kalinya guru, sekolah, dan masyarakat menjadi
korban ketidakseriusan dinas ini. Padahal, keberadaan mereka untuk meningkatkan
mutu pendidikan di Lampung sangat vital. "Kami berharap ke depan hal seperti
ini tidak terjadi lagi. Namun, anehnya kejadian ini selalu terulang, kami
sangat kecewa," katanya.
KBK, ujar dia, diterapkan serentak sejak tahun pelajaran 2004--2005.
Bahkan, pada TP 2003--2004, beberapa sekolah menjadi pilot project penerapan
kurikulum ini. Anehnya, format buku rapornya baru disetujui akhir November dan
menyebabkan siswa tidak bisa menerima buku rapor.
Berdasarkan pengalaman itu, barang kali kita juga akan khawatir dengan
penghapusan dan penggantian UAN. Ketua Gugus Pemikir Perkumpulan Pembina
Pendidikan (PPLP) PGRI Prof. Winarno Surakhmad, ketika di Lampung, mengatakan
inkosistensi Mendiknas mengenai hal itu menambah polemik wajah pendidikan
Dia mengaku semula menyetujui rencana penghapusan UAN karena dalam
pelaksanaannya banyak menimbulkan polemik di kalangan pendidik. Hanya saja,
proses standardisasi pendidikan di tingkat sekolah tetap ada. Misalnya, dengan
mengganti kebijakan lain yang lebih baik.
Namun, menurut Winarno, saat melontarkan rencana penghapusan UAN tersebut
Mendiknas lebih terfokus mengganti dengan ujian masuk yang akhirnya menimbulkan
banyak wacana di masyarakat. "Adanya ujian masuk juga sebenarnya baik, asalkan
proses standardisasi tetap dilakukan," ujarnya.
Penerapan ujian masuk, kata dia, menangkap lontaran Mendiknas, akan
diberlakukan saat pelajar lulus SMA, sedangkan di tingkat SMP tidak. Sebab,
lulusan SMP secara otomatis masuk SMA.
Perubahan memang tidak akan dan tidak boleh berhenti. Asalkan, arahnya
tetap menuju pada hal yang membuat harkat dan martabat manusia menjadi lebih
baik dan mulia. Akan tetapi, perubahan adalah sebuah sistem: ada yang mengubah,
diubah, dan sistem perubahan. Ketiganya harus menyatu.
Kenyataan kontraproduktif di dunia pendidikan, sebenarnya
ketidaksinergian hal itu. Dan kebijakan di tingkat atas adalah ibarat sebuah
bandul jam: sedikit saja bergerak di bagian atas, goncangan di bawah jauh lebih
kuat. Selebihnya, karena pendidikan tidak berdiri sendiri, sinergi itu pun
harus lebih diperluas lagi. n UNI/S-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar