Kamis, 28 Agustus 2008

Kompetensi Guru

Meskipun dana pendidikan pemerintah terbatas dan dukungan masyarakat

maupun dunia usaha kurang optimal, menurut Chairul, masalah pokok pendidikan di

Lampung bukan dana, sarana, dan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, tingkat

kompetensi guru yang masih rendah bahkan di bawah standar minimal.

Untuk itu, Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Lampung Dedi

Hermanto mengatakan pihaknya menggelar tes kompetensi. Tujuannya, agar bisa

memetakan tingkat kompetensi guru di Lampung. Hal itu beberapa waktu lalu

dilakukan untuk guru SD dan SMA. Sebab, guru SMP dilakukan sebelumnya.

Setelah pemetaan berakhir, diharapkan akan diketahui peta kompetensi guru

di Lampung. Sehingga, bisa diambil langkah tepat meningkatkan kompetensi

mereka, khususnya yang ada di Bandar Lampung. "Kami akan potret dulu seperti

apa kondisinya, dari hasil pemotretan inilah kemudian akan kami tentukan

langkahnya," kata Dedi.

Menurut dia, berdasarkan hasil pemetaan kompetensi terhadap 1.000 guru SD

di Lampung, banyak hal yang harus ditingkatnya. Ada yang penguasaan materinya

dan wawasannya rendah, ada pula yang kemampuan evaluasinya demikian.

Namun, karena pemetaan belum menyeluruh, LPMP akan terus melakukannya

terhadap guru di semua jenjang pendidikan. Akhir tahun ini, rencannya dipetakan

15.000 guru SD. Pihaknya mengharapkan hal itu bisa terus berlangsung sehingga

semua guru di seluruh jenjang pendidikan diketahui kompetensinya.

Sementara Plh. Kadis Pendidikan Lampung Chairul Tabrani mengatakan untuk

mengatasi berbagai persoalan pendidikan di daerahnya akan berusaha

meningkatakan perluasan dan pemerataan kesempatan pendididikan, guna mendukung

wajib belajar sembilan tahun. Sebab, harus selesai 2008.

Usaha berikutnya, meningkatkan mutu tenaga pendidik melalui pelatihan dan

penyetaraan. Sedangkan untuk merehabiltasi berbagai sarana dan prasarana yang

rusak, pihaknya akan berembuk dengan pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan

kabupaten dan kota.

Namun, seberapa mungkin upaya itu akan terwujud? Sejumlah pihak

meragukannya. Sekretaris Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung Gino

Vanollie mengatakan pemerintah kurang peduli terhadap pendidikan. Keterlamabtan

pencetakan buku rapor siswa, misalnya, menjadi kampanye yang sangat tidak

produktif bagi kurikulum berbasis kompetensi (KBK).

"Jika hal yang demikian teknis saja tidak tertangani, masyarakat pantas

khawatir dengan keseriusan dan kinerja Dinas Pendidikan," kata dia kepada

Lampung Post, Kamis (9-12).

Menurut dia, untuk kesekian kalinya guru, sekolah, dan masyarakat menjadi

korban ketidakseriusan dinas ini. Padahal, keberadaan mereka untuk meningkatkan

mutu pendidikan di Lampung sangat vital. "Kami berharap ke depan hal seperti

ini tidak terjadi lagi. Namun, anehnya kejadian ini selalu terulang, kami

sangat kecewa," katanya.

KBK, ujar dia, diterapkan serentak sejak tahun pelajaran 2004--2005.

Bahkan, pada TP 2003--2004, beberapa sekolah menjadi pilot project penerapan

kurikulum ini. Anehnya, format buku rapornya baru disetujui akhir November dan

menyebabkan siswa tidak bisa menerima buku rapor.

Berdasarkan pengalaman itu, barang kali kita juga akan khawatir dengan

penghapusan dan penggantian UAN. Ketua Gugus Pemikir Perkumpulan Pembina

Pendidikan (PPLP) PGRI Prof. Winarno Surakhmad, ketika di Lampung, mengatakan

inkosistensi Mendiknas mengenai hal itu menambah polemik wajah pendidikan

Indonesia.

Dia mengaku semula menyetujui rencana penghapusan UAN karena dalam

pelaksanaannya banyak menimbulkan polemik di kalangan pendidik. Hanya saja,

proses standardisasi pendidikan di tingkat sekolah tetap ada. Misalnya, dengan

mengganti kebijakan lain yang lebih baik.

Namun, menurut Winarno, saat melontarkan rencana penghapusan UAN tersebut

Mendiknas lebih terfokus mengganti dengan ujian masuk yang akhirnya menimbulkan

banyak wacana di masyarakat. "Adanya ujian masuk juga sebenarnya baik, asalkan

proses standardisasi tetap dilakukan," ujarnya.

Penerapan ujian masuk, kata dia, menangkap lontaran Mendiknas, akan

diberlakukan saat pelajar lulus SMA, sedangkan di tingkat SMP tidak. Sebab,

lulusan SMP secara otomatis masuk SMA.

Perubahan memang tidak akan dan tidak boleh berhenti. Asalkan, arahnya

tetap menuju pada hal yang membuat harkat dan martabat manusia menjadi lebih

baik dan mulia. Akan tetapi, perubahan adalah sebuah sistem: ada yang mengubah,

diubah, dan sistem perubahan. Ketiganya harus menyatu.

Kenyataan kontraproduktif di dunia pendidikan, sebenarnya

ketidaksinergian hal itu. Dan kebijakan di tingkat atas adalah ibarat sebuah

bandul jam: sedikit saja bergerak di bagian atas, goncangan di bawah jauh lebih

kuat. Selebihnya, karena pendidikan tidak berdiri sendiri, sinergi itu pun

harus lebih diperluas lagi. n UNI/S-2

Tidak ada komentar: